Blog

  • Rumah Gadang Asal Padang

    Rumah Gadang Asal Padang

    Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak dijumpai di Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.

    Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Sumatera Barat. Namun tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

    Fungsi

    Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.

    Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.

    Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun-temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Di halaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu Rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga, sedangkan pada kelarasan Bodi-Caniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, golongan pertama menganut prinsip pemerintahan yang hierarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan kedua anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari kompleks Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

    Arsitektur

    Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun, namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian, muka dan belakang. Bagian depan dari Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, tetapi tidak mudah runtuh oleh goncangan, dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.

    Pada umumnya, Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang dihimpit pada dinding.

    Karena wilayah Minangkabau rawan gempa sejak dulunya karena berada di pegunungan Bukit Barisan, maka arsitektur Rumah Gadang juga memperhitungkan desain yang tahan gempa. Seluruh tiang Rumah Gadang tidak ditanamkan ke dalam tanah, tetapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar. Seluruh sambungan setiap pertemuan tiang dan kaso (kaso) besar tidak memakai paku, tetapi memakai pasak yang juga terbuat dari kayu. Ketika gempa terjadi Rumah Gadang akan bergeser secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tonggak atau tiang berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang dihubungkan oleh pasak kayu juga bergerak secara fleksibel, sehingga Rumah Gadang yang dibangun secara benar akan tahan terhadap gempa.

    Ukiran

    Pada bagian dinding Rumah Gadang dibuat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.

    Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah.

    Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran.

    Proses pembuatan

    Menurut tradisinya, tiang utama Rumah Gadang yang disebut tonggak tuo yang berjumlah empat buah/batang diambil dari hutan secara gotong royong oleh anak nagari, terutama kaum kerabat, dan melibatkan puluhan orang. Batang pohon yang ditebang biasanya adalah pohon juha yang sudah tua dan lurus dengan diameter antara 40 cm hingga 60 cm. Pohon juha terkenal keras dan kuat. Setelah dibawa ke dalam nagari pohon tersebut tidak langsung dipakai, tetapi direndam dulu di kolam milik kaum atau keluarga besar selama bertahun-tahun.

    Setelah cukup waktu batang pohon tersebut diangkat atau dibangkit untuk dipakai sebagai tonggak tuo. Prosesi mengangkat/membangkit pohon tersebut disebut juga sebagai mambangkik batang tarandam (membangkitkan pohon yang direndam), lalu proses pembangunan Rumah Gadang berlanjut ke proses berikutnya, mendirikan tonggak tuo atau tiang utama sebanyak empat buah, yang dipandang sebagai menegakkan kebesaran.

    Batang pohon yang sudah direndam selama bertahun-tahun tersebut kemudian menjadi sangat keras dan tak bisa dimakan rayap, sehingga bisa bertahan sebagai tonggak tuo atau tiang utama selama ratusan tahun. Perendaman batang pohon yang akan dijadikan tonggak tuo selama bertahun-tahun tersebut merupakan salah satu kunci yang membuat Rumah Gadang tradisional mampu bertahan hingga ratusan tahun melintasi zaman.

    Adopsi

    Keunikan bentuk atap Rumah Gadang yang melengkung dan lancip, telah menginspirasi beberapa arsitek di belahan negeri lain, seperti Ton van de Ven di Negeri Belanda yang mengadopsi desain Rumah Gadang pada bangunan The House of the Five Senses. Bangunan yang dioperasikan sejak tahun 1996 itu digunakan sebagai gerbang utama dari Taman Hiburan Efteling.Bangunan setinggi 52 meter dan luas atap 4500 meter persegi itu merupakan bangunan berkonstruksi kayu dengan atap jerami yang terbesar di dunia menurut Guinness Book of Records.

    Desain Rumah Gadang yang banyak terdapat di Negeri Sembilan juga diadopsi pada bangunan paviliun Malaysia di World Shanghai Expo 2010 yang diselenggarakan di Shanghai, China, pada tahun 2010

    Simbol

    Gonjong (bagian atap yang melengkung dan lancip) Rumah Gadang menjadi simbol atau ikon bagi masyarakat Minangkabau di samping ikon yang lain, seperti warna hitam-merah-kuning emas, rendang, dan lainnya. Hampir seluruh kantor pemerintahan di Sumatera Barat memakai desain Rumah Gadang dengan atap gonjongnya, walaupun dibangun secara permanen dengan semen dan batu. Ikon gonjong juga dipakai di bagian depan rumah makan Padang yang ada di berbagai tempat di luar Sumatera Barat. Logo-logo lembaga atau perkumpulan masyarakat Minang juga banyak yang memakai ikon gonjong dengan segala variasinya.

    Ragam

    Secara umum, ada dua ragam rumah gadang menurut laras yang dianut suku atau nagari di mana rumah gadang didirikan, yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago.[7]

    Rumah gadang lareh Koto Piliang memiliki anjung di sisi kiri dan/atau kanan rumah gadang, sehingga disebut Rumah Rumah Baanjuang. Anjung merupakan bagian yang lebih tinggi pada bagian lain rumah. Hal ini dikarenakan kepemimpinan dalam laras Koto Piliang yang otokrasi (bertingkat-tingkat). Rumah gadang tipe ini banyak dibangun di luhak Tanah Datar.

    Berbeda dengan laras Koto Piliang, Rumah Gadang Bodi Caniago tidak memiliki anjung. Sehingga lantai pada rumah gadang ragam ini terlihat sama tinggi. Hal ini dikarenakan kepemimpinan laras Bodi Chaniago yang demokrasi. Rumah Gadang ragam ini banyak ditemukan di Luhak Agam dan Luhak Limapuluh Kota. Walaupun begitu, pembagian ruang di dalamnya secara umum sama kedua laras ini.

    Selain menurut anjung nan ada pada rumah gadang, ada banyak ragam lainnya dari rumah gadang. Perbedaan di antara ragam-ragam rumah gadang dapat dilihat dari bentuk, dinding, jumlah ruangan, tonggak, serambi, bahkan gonjongnya.

    Rumah Gadang di darek

    Rumah gadang di darek mempunyai perbedaan dengan rumah gadang yang ada di kawasan rantau, baik yang di pesisir timur maupun pesisir barat. Perbedaan mencolok yaitu bentuk atapnya yang bergonjong, sehingga rumah gadang yang ada di darek biasanya disebut dengan rumah gadang bergonjong. Pendirian rumah gadang bergonjong di darek ado aturan adatnya sendiri. Rumah bagonjong hanya boleh dibangun di daerah yang sudah berstatus nagari.

    Rumah Gadang Gajah Maharam

    Rumah gadang ragam ini bentuknya seperti goyang mahram, yaitu besar, lebar dan tampak kokoh. Rumah gadang ini terdiri dari banyak ruangan. Rumah ini merupakan rumah suku, bukan rumah saparuik. Gajah maharam lebih berfungsi sebagai rumah adat daripada rumah hunian. Gajah maharam difungsikan sebagai tempat pesta, baik pesta pernikahan maupun kematian. Ragam rumah gadang ini banyak ditemui di Luhak Tanah Datar. Pintu masuk rumah gadang biasanya terletak di tengah, baik di depan maupun belakang.

    Rumah Gadang Surambi Papek

    Rumah gadang ragam ini disebut juga sebagai rumah gadang bapa pokok atau Rumah Gadang Lipek Pandan. Rumah gadang jenis ini banyak ditemukan di Luhak Agam. Rumah gadang ini mempunyai sayap pada sisi kiri dan kanan atapnya. Pintu masuk rumah gadang ini terletak di belakang.

    Rumah Gadang Rajo Babandiang

    Rumah Gadang Rajo Babandiang merupakan rumah gadang kelarasan Bodi Caniago yang ada banyak di Luhak Limapuluh Kota.Dinamai rajo babandiang karena ada ruangan tambahan di bagian tepi yang berdampingan, tapi tidak simetris dan agak mundur ke belakang. Pemasangan sederet tiang tambahan yang disebut tiang babisiak membuat ruang tadi agak mundur ke belakang hingga dinamakan sebagai rumah gadang bapaserek.

    Nama lain dari rumah gadang ini adalah rumah gadang gonjong limo. Hal ini karena bisanya ada lima gonjong di atapnya. Sebenarnya gonjong yang kelima merupakan gonjong tambahan untuk ruang tambahan hasil tiang babisiak tadi. Pada umumnya pintu masuk terletak di samping, antara ruang bergonjong keempat dengan kelima.

    Rumah Gadang Batingkok atau Batingkek

    Rumah Gadang Batingkok atau Batingkek merupakan rumah gadang yang dibuat bertingkat. Rumah gadang jenis ini merupakan pengembangan dari rumah gadang gajah maharam, serambi papek, atau rajo babandiang. Ruang tambahan pada lantai kedua atau ketiga disebut sebagai ruang paranginan. Di antara jenis rumah gadang ini yang ternama, yaitu Istano Basa Pagaruyung (Batusangkar), Rumah Gadang Sicamin (Biaro, Agam), dan Rumah Gadang Sutan Nan Chedoh (Koto Nan Ampek, Payakumbuh).

    Rumah Gadang Surambi Aceh

    Rumah Gadang Surambi Aceh merupakan ragam rumah gadang yang paling tersebar di daerah Solok dan Solok Selatan. Sesuai namanya, ciri khas rumah gadang ini nampak dari adanya serambi pada bagian depan rumah yang sekaligus menjadi pintu masuk. Hal ini terpengaruh dengan Arsitektur Aceh pada masa wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh sudah membentang hingga pesisir barat Sumatera Barat. Pada masa itu, tujuan adanya serambi adalah sebagai tempat menerima tamu, khususnya yang orang kolonial.Menurut jumlah gonjong yang ada pada serambinya, Rumah Gadang Surambi Aceh terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

    • Rumah Gadang Surambi Aceh Bagonjong Ciek
    • Rumah Gadang Surambi Aceh Bagonjong Duo

    Rumah Gadang Surambi Aceh kini masih banyak dijumpai di Sumatera Barat, khususnya di Solok dan Solok Selatan. Selain itu, di kawasan Saribu Rumah Gadang, Nagari Sungai Pagu, Solok Selatan, ragam ini masih banyak dipakai. Pada bangunan modern, rumah gadang ini sudah diadopsi pada hotel Bumiminang, hal itu nampak pada bagian pintu utamanya yang seakan-akan membentuk Serambi Bagonjong Duo

    Rumah Gadang di Rantau

    Rumah gadang di rantau, pesisir barat maupun timur, dibangun berbeda dengan rumah gadang yang ada di darek karena adat yang mengaturnya. Ciri bangunannya berbentuk rumah panggung besar dengan tangga terletak di tengah rumah beserta atap yang tidak bergonjong. Atap yang dibangun terkadang dibuat agak melengkung seperti Rumah Lontiok, atau bahkan tidak melengkung sama sekali seperti Rumah Tungkuih Nasi. Karena tidak ada gonjongnya inilah, masyarakat sering menganggapnya bukan rumah gadang.

    Rumah di daerah rantau biasanya terpengaruh arsitektur luar seperti Aceh, Melayu, Nieh, bahkan Ulando. Walaupun seperti itu, pembangunan rumah gadang ini masih tetap berkaitan dengan aturan adat Minangkabau yang matrilineal.

    Kajang Padati

    Rumah Gadang Kajang Padati merupakan rumah gadang yang ada di kawasan rantau pesisir barat, khususnya Kota Padang. Dinamakan kajang pedati karena bentuknya serupa dengan penutup pedati (kajang padati). Rumah gadang seragam ini sangat berbeda dengan yang ada di darek. Perbedaan yang paling menonjol nampak pada atapnya yang bukan bergonjong, namun agak melengkung sedikit di atasnya. Hal ini karena padang merupakan kawasan rantau. Bentuk rumah gadang ini dipengaruhi oleh arsitektur kolonial yang pernah menguasai Padang dahulunya, seperti Aceh. Pengaruh Aceh di antaranya terlihat pada bentuk tangga disertai ukiran-ukiran yang ada.

    Rumah gadang biasanya terbuat dari kayu laban, banio, dan rasak. Dalam pembangunannya, rumah ini dibangun dengan orientasi menghadap ke sungai. Kini rumah gadang kajang padati sudah sangat jarang dibangun. Namun, masih banyak di sekitar Kuranji dan Pauh.Sebagai upaya pelestariannya, rumah gadang kajang padati pun sudah mulai diadaptasi dalam bangunan-bangunan milik pemerintah Kota Padang, salah satunya pada Balaikota Padang.

    Tungkuih Nasi

    Rumah Gadang Tungkuih Nasi merupakan rumah gadang yang bisa ditemukan di kawasan rantau pesisir barat Sumatera, seperti di Pariaman, Padang, dan Pasisia Selatan. Serupa dengan rumah gadang kajang padati, rumah gadang ini tidak memakai gojong pada atapnya. Sesuai namanya, bentuk atapnya seakan-akan menyerupai bungkus atau pembungkus nasi.Salah satu bangunan yang ternama yaitu Rumah Gadang Mande Rubiah di Lunang Silaut, Pesisir Selatan.

    Rumah Bumbung Panjang

    Rumah Bumbung Panjang Negeri Sembilan dianggap sebagai jenis Rumah Gadang yang ada di Negeri Sembilan, Malaysia. Rumah tradisional ini dibangun oleh keturunan Minangkabau yang berasimilasi dengan Orang Asli.Rumah tradisional ini merupakan evolusi dari Rumah Gadang di Sumatera Barat, Indonesia, yang telah dipadukan dengan unsur arsitektur Melayu setempat. Ciri khas rumah ini dapat terlihat pada bentuk atap yang memanjang serta melentik di kedua ujungnya, namun tidak melengkung tajam seperti gonjong pada Rumah Gadang

  • Tongkonan Rumah adat dari Toraja

    Tongkonan Rumah adat dari Toraja

    Tongkonan (ᨈᨚᨃᨚᨊ) adalah rumah adat masyarakat suku Toraja yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Arsitektur tongkonan dikenal dengan bentuknya yang khas melalui struktur bawah, tengah dan atas yang memiliki keindahan estetika struktur dan konstruksinya. Mekanika sistem struktur membentuk suatu sistem estetika arsitektural. Tongkonan tidak lagi dijadikan rumah tempat tinggal tetapi sudah tidak dihuni lagi dikarenakan setiap keluarga yang mendiami Tongkonan pada umumnya telah membangun rumah tinggal sendiri. Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran mengandung makna yaitu melambangkan status sosial pemilik Tongkonan menempati lapisan atas

    Pembahasan

    Tongkonan dalam bahasa Toraja diartikan sebagai tempat duduk (tongkon= duduk). Tongkonan merupakan rumah panggung tradisional Masyarakat Toraja berbentuk persegi empat panjang. Dibuat sebagai rumah panggung, agar penghuni tidak mudah diganggu oleh binatang buas.

    Kata tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti ‘duduk’, mendapat akhiran ‘an’ maka menjadi tongkonan yang artinya tempat duduk dan ongan berarti bernaung. Duduk dan bernaung merupakan perpaduan pengertian kata Tongkonan. Arti kata tongkon dapat digunakan dalam sistem konstruksi dengan padanan kata meletakkan bagian satu dengan lainnya dalam istilah struktur disebut dengan menyusun bagian satu dengan lainnya.

    Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja, yang merupakan tempat tinggal, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya orang Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perorangan, melainkan dimiliki secara komunal dan turun temurun oleh keluarga atau marga Suku Tana Toraja.

    Tongkonan biasanya dijaga dan dipelihara oleh seseorang yang dipercayakan mengelolanya (to ma’kampai tongkonan), dan biasanya orang yang sekaligus membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) serta menjaga, memelihara, dan mengorganisir upacara-upacara yang dilaksanakan oleh anggota keluarga tongkonan tersebut. Menggadaikan atau menjual harta tongkonan, khususnya Rumah Tongkonan dan/atau lahan dimana ia didirikan, dipercaya akan membawa bencana. Beberapa wilayah di Toraja, seperti di Kecamatan Saluputti Kabupaten Tana Toraja, menyebut Tongkonan dengan “Tokkonan”.

    Struktur bangunan

    Arsitektur tongkonan dikenal dengan bentuknya yang khas melalui struktur bawah, tengah dan atas yang memiliki keindahan estetika struktur dan konstruksinya.Sistem struktur dan konstruksi arsitektur Tongkonan merupakan sistem struktur yang terpisah antara bagian bawah (suluk banua), bagian tengah (kale banua), dan bagian atap (rantiang banua). Setiap bagian memiliki sistem struktur dan konstruksi yang berbeda.

    Mekanika sistem struktur membentuk suatu sistem estetika arsitektural.Sistem struktur dan konstruksi pada Tongkonan adalah struktur jamak, gaya reaksi dari sebuah bagian struktur menjadi beban aksi pada bagian struktur yang menahannya. Sistem struktur utama bangunan rumah Tongkonan adalah sistem rangka. Kerangka bagian atas lantai merupakan bagian dari dinding yang sekaligus berfungsi untuk memikul beban atap. Beban dinding badan bangunan diteruskan ke kolom rangka kaki, dan sebagian besar beban disalurkan melalui umpak ke muka tanah.

    Konstruksi susun tumpang tindih dan ikat dari material bambu dan ditopang oleh tiang memberikan kekuatan struktur sehingga bagian ini juga dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan bagian konstruksi Tongkonan lainnya. Konstruksi rumah adat Tongkonan terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam seperti paku. Tongkonan atau rumah adat Toraja, selalu berbentuk segi empat, ukuran panjang dan lebar telah disebut di atas. Ragam hias atau ukiran pada Tongkonan merupakan simbol pengharapan agar penghuni rumah dapat hidup dengan baik

    Fungsi

    Tongkonan saat ini telah kehilangan fungsinya sebagai hunian utama. Keluarga Toraja masa kini umumnya membangun rumah tinggal pribadi dengan gaya arsitektur yang tidak berbeda dengan rumah modern di perkotaan Indonesia pada umumnya. Jika masih tersedia lahan di dekat tongkonan, biasanya anak keturunan empunya tongkonan akan mendirikan rumah di sebelah barat

    Tongkonan merupakan ‘kursi’ dari nenek moyang yang dihormati yang menemukan rumah tersebut. Salah satu keturunan dari sang penemu (the founders), kepala kelompok keluarga, memimpin ‘Rumah’ dan segala isinya. Dia bertanggung jawab untuk mengamati semua upacara, tak peduli apakah upacara tersebut besar atau kecil, dimana ‘Rumah’ (tongkonan) adalah pusat sosial dan religius bagi kelompok keluarga. Tongkonan merupakan representasi mikrokosmik dari makrokosmos. Tongkonan dapat berupa rumah tradisional (banua) dan lumbung padi (alang atau korang).

    Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa fungsi, antara lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagai tempat untuk duduk bersama, lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang Toraja sangat men”sakral”kan Tongkonan.

    Sebuah Tongkonan tidak hanya sebagai tempat hunian semata tapi juga mengandung fungsi dan makna yang bersumber dari filosofi orang Toraja, fungsi Tongkonan bagi orang Toraja sebagai tempat rumpun keluarga dalam melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan dan lainnya selain itu Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat membicarakan dan memutuskan aturan-aturan dalam masyarakat yang mengatur hubungan interaksi sosial, juga pusat pembinaan tentang gotong royong, tolong menolong dan lainnya

    Makna

    Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran mengandung makna yaitu melambangkan status sosial pemilik Tongkonan menempati lapisan atas, seperti untuk mengenal latar belakang atau status sosial serta nama marga seseorang hanya dengan menanyakan Tongkonan asalnya Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dalam pola hidup yang artinya pola pikir diwujudkan dalam perilaku harus di tempatkan di dalam kerangka dan struktur yang sudah melembaga di dalam adat, sebab orang adalah bagian dalam persekutuan komunitas yang berakar dalam Tongkonan.

    Secara filosofis Tongkonan selalu bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo, dimana bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan adalah simbol keluarga dan martabat orang Toraja. Jika tongkonan digadaikan, apalagi dijual, ini ibarat menggadaikan atau menjual martabat keluarga dan nenek moyang kami, dan ini menimbulkan malu bagi anggota keluarga tongkonan. Harta tongkonan dapat ditambah, tapi tidak dikurangi untuk keberlangsungan hidup generasi tongkonan

    Bagian

    Ruang pada bagian badan Tongkonan terbagi atas tiga bagian, yaitu:

    – Ruang bagian depan (Tangdo’) disebut kale banua menghadap bagian utara. Tempat penyajian kurban pada upacara persembahan dan pemujaan kepada Puang Matua.

    – Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu Solo’ dan bagian kanan (timur) tempat sajian kurban persembahan dalam upacara Aluk Rambu Tuka’.

    – Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah) berada di bagian selatan, tempat masuknya penyakit.

    Rumah Tongkonan merupakan tatanan simbol keberadaan keluarga penghuni dan sebagai tempat (pusat) berkumpulnya rumpun keluarga. Selain berfungsi sebagai rumah adat dan simbol status sosial, Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang religius.

    Rumah tradisional atau rumah adat yang disebut Tongkonan harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru, yaitu :

    1. Bagian utara disebut ulunna langi, yang paling mulia;
    2. Bagian timur disebut mataallo, tempat matahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan;
    3. Bagian barat disebut matampu, tempat matahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian; dan
    4. Bagian selatan disebut palla’na langit, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.

    Rumah Tongkonan yang di renovasi tetap mengikuti bentuk asli, namun ada beberapa bagian yang sudah mengalami perubahan. Atapnya tidak lagi dibuat dari bambu tetapi sudah diganti dengan atap seng. Begitu pula dengan dinding rumah tetap terbuat dari kayu namun ukirannya sudah tampak penuh demikian juga tiang utama, depan dan belakang pun sudah diukir. Di dalam ruang tengah yang dulunya ada dapur untuk memasak sekarang sudah ditiadakan. Biaya untuk merenovasi rumah Tongkonan keseluruhannya membutuhkan uang yang jumlahnya sangat banyak kurang lebih Rp 1 Miliar. Keadaan sekarang sekalipun Tongkonan sudah direnovasi atau dibangun kembali tetap tidak digunakan sebagai rumah tinggal oleh keluarga memiliki Tongkonan. Namun hanya sekarang digunakan untuk menerima tamu.

    Jenis Rumah Adat Tongkonan

    Rumah adat Tongkonan memiliki jenis yang beragam. Tiap rumah sendiri dibuat berbeda didasarkan pada peran pemimpinnya. Dahulu, rumah tongkonan hanya diperuntukkan untuk raja, kepala suku beserta keturunannya. Rumah adat tongkonan sendiri memiliki bentuk menyerupai perahu Kerajaan China. Berikut ini beberapa jenis Rumah adat Tongkonan yang perlu kamu ketahui:

    Tongkonan Pekamberan

    Jenis Rumah Adat Tongkonan yang pertama adalah Tongkonan Pekamberan. Jenis Rumah Adat Tongkonan ini sendiri secara khusus dibangun bagi para keluarga besar dari tokoh masyarakat yang memiliki otoritas tinggi di masyarakat.

    Rumah Adat Tongkonan Pekamberan umumnya digunakan oleh para penguasa untuk mengatur proses pemerintahan adat Toraja. Dengan keberadaan Tongkonan Pekamberan kemudian mewajibkan pada keluarga turunan pemiliknya kemudian melanjutkan tugas menjaga tradisi untuk kemudian mewariskannya kepada generasi selanjutnya.

    Tongkonan Layuk

    Tongkonan Layuk sebagai Jenis Rumah Adat Tongkonan selanjutnya. Tongkonan Layuk sebagai jenis rumah adat yang pertama kali menjadi pusat pemerintahan. Urusan-urusan kekuasaan dan pemerintahan kemudian dilangsungkan di rumah Tongkonan Layuk ini.

    Selain itu Rumah Tongkonan Layuk juga menjadi salah satu simbol masyarakat Toraja sesuai cerminan para leluhurnya. Rumah Adat Tongkonan Batu A’riri juga kerap digunakan oleh masyarakat Toraja sebagai rumah para keluarga biasa dan digunakan sebagai hunian yang berukuran tidak terlalu besar dibandingkan rumah Tongkonan lainnya.

    Tongkonan Batu A’riri

    Tongkonan batu A’riri merupakan rumah tongkonan ketiga. Meski berperan sebagai tempat pembinaan keluarga di suku Toraja yang hendak membangun rumah Tongkonan pertama kali, Rumah adat Toraja ini tidak memiliki kekuasaan dalam adat.

    Keunikan Rumah Adat Tongkonan

    Kini rumah adat Tongkonan tak lagi difungsikan sebagai rumah tinggal saja karena hampir setiap penduduk yang menghuni rumah ini juga membangun rumah tinggalnya sendiri. Pada mulanya rumah adat Tongkonan kerap digunakan sebagai salah satu pusat budaya bagi para masyarakat Toraja.

    Rumah adat tongkonan ini juga kerap digunakan sebagai tempat upacara religi bagi keluarga yang menghuninya. Rumah Tongkonan juga digunakan sebagai rumah tradisional atau bantuan bahkan menjadi sebuah lumbung padi.

    Sesuai nilai filosofisnya, rumah adat Tongkonan seluruh aspek kehidupan yang ada dengan ukuran yang luas. Oleh karenanya masyarakat Toraja juga sangat mensakralkan rumah Tongkonan hingga kini. Tiap ruang pada Rumah Adat Tongkonan memiliki fungsi yang berbeda-beda, berikut penjelasannya

    Banua Sang Borong

    Bangunan ini juga disebut Barung-barung. Banua sang sorong atau atau Sang Lanta merupakan bagian rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan saja karena tidak memiliki penyekat antara ruangan. Ruangan ini juga kerap difungsikan untuk melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang. Banua Sang Borong memiliki bentuk ruang tanpa sekat sehingga hanya berbentuk satu ruangan saja, sehingga semua kegiatan dilakukan dalam satu ruangan tersebut. Bangunan ini kerap dibangun bagi utusan dari seorang penguasa adat.

    Banua Duang Lanta

    Banua Duang Lanta sebagai rumah tradisional yang tidak mempunyai peranan adat dan umumnya merupakan rumah keluarga. Bangunan Banua Duang Lanta terdiri dari dua jenis ruang, yaitu sali dan sumbung. Sumbung sebagai ruangan yang terletak di bagian selatan difungsikan sebagai tempat beristirahat.

    Sali juga kerap diletakan pada bagian utara rumah. Ruangan ini juga lebih rendah 30-40cm dari sumbung. Meski berukuran lebih luas dan panjang karena di ruang inilah tempat seseorang memasak, dan tempat menyimpan jenazah bila ada yang meninggal namun belum atau akan diupacarakan.

    Meskipun demikian rumah adat ini juga berfungsi sebagai Tongkonan Batu A’riri yang lazim disebut Banua Pa’rapuan yaitu rumah persatuan keluarga dari golongan rendah yang disebut kasta Tana’ Kua-Kua atau Tana’ Karurung.

    Banua Talung Lanta

    Bangunan Rumah Adat Tongkonan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Tangdo yang terletak pada area bagian utara rumah dan berfungsi sebagai kamar tidur Wanita yang belum menikah.

    Sali sebagai ruang tamu utama keluarga pada Rumah Adat Tongkonan. Ruang ini juga kerap dilengkapi dengan perapian yang terletak di bagian timur. Terdapat kotak kayu persegi panjang atau disebut juga ‘dapo’ yang berfungsi sebagai tempat memasak sekaligus perapian karena cuaca Toraja yang cenderung dingin.

    Dapo terletak di sebelah timur Rumah Adat Tongkonan karena makanan berkaitan erat juga dengan ritual-ritual. Sali juga difungsikan sebagai tempat tidur pria yang belum menikah pada Rumah Adat Tongkonan.

    Sumbung pada ruangan ini terletak di Selatan Rumah Adat Tongkonan. Di bagian ini, tuan rumah dan istrinya kemudian beristirahat, ruang ini juga difungsikan sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga dalam keranjang atau batang besar yang memiliki sebutan ‘batutu’.

    Umumnya Banua Tallung Lanta’ merupakan rumah adat yang mempunyai peranan Tongkonan Kaparengngesan (Pekaindoran atau Pekambaran), yaitu sebagai Pemerintahan Adat Toraja.

    Meskipun terdapat juga rumah Banua Tallung Lanta’ yang tidak memiliki peranan adat yang disebut Tongkonan Batu A’riri milik bangsawan sebagai rumah pertalian keluarga semata. Kedua jenis tongkonan ini juga memiliki pembeda melalui simbol-simbol yang digunakan.

    Misalnya pada Rumah Adat terdapat simbol Kabongo atau bentuk kepala kerbau yang dipasang pada bagian depan Tongkonan, selain itu terdapat juga Katik bentuk kepala ayam yang berada di atas Kabongo dan A’riri Posi’ juga merupakan tiang tengah bangunan.

    Pada tongkonan ini tak hanya terdapat simbol-simbol. Perbedaan ini juga terdapat jenis ukiran yang dipergunakan pada Tongkonan. Pada tongkonan rumah adat harus terdapat ukiran Matahari atau Pa’barre Allo, Kepala kerbau atau Pa’ tedong, Ayam jantan atau Pa’ manuk Londong dan jalur-jalur lurus atau Pa’sussuk.

    Banua Patang Lanta

    Banua Patang lantai pada Rumah Adat Tongkonan terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu Banua Patang Lanta’ di lalang tedong dan Banua Patang Lanta’ di salembe. Banua Patang Lanta’ ini terbagi juga empat ruang, yakni Inan Kabusungan yang berada pada bagian selatan Rumah Adat Tongkonan dan difungsikan sebagai ruang utama tempat menyimpan segala peralatan adat dan pusaka, selain itu Sumbung yang digunakan sebagai kamar tidur, Sali Tangnga juga memiliki ukuran yang lebih panjang jika dibandingkan dengan ruang lainnya karena difungsikan sebagai tempat berkegiatan bagi anggota keluarga pada Rumah Adat Tongkonan, Sali Iring sebagai ruang paling rendah yang biasanya digunakan sebagai tempat menerima tamu keluarga untuk tempat istirahat para asisten rumah tangga.

    Ciri Khas Rumah Adat Tongkonan

    Bagian Rumah adat Tongkonan pada area atapnya memiliki bentuk yang paling mencolok, sebab berbentuk seperti perahu. Atap Rumah Adat Tongkonan ini juga kemudian juga digunakan sebagai simbol pengingat bahwa leluhurnya menggunakan perahu untuk sampai ke Pulau Sulawesi. Berikut ini beberapa ciri khas Rumah Adat Tongkonan yang perlu kamu ketahui

    Bangunan Berbentuk Pohon Pipit

    Pada Tahap awal dari perkembangan Rumah Adat Tongkonan adalah rumah dengan bentuk pohon pipit. Keunikan Rumah Adat Tongkonan ini ada pada bangunan dari rumah adat yang berada di atas pohon dan terbuat dari susunan ranting pohon pada sebuah dahan besar. Atap pada rumah ini terbuat dari rumput yang disusun seperti sarang burung pipit.

    Atap Berbentuk Perahu

    Atap pada Rumah Adat Tongkonan berbentuk seperti perahu dan kedua ujungnya berbentuk seperti busur. Menurut legenda Toraja, mereka datang dari utara melalui laut dan terperangkap dalam badai yang dahsyat.

    Lalu, perahu rusak parah sehingga tidak bisa berlaut. Sehingga mereka kemudian menggunakan perahu sebagai bentuk atap Rumah Adat Tongkonan mereka dengan arah yang selalu menghadap ke utara.

    Patung Kepala Kerbau

    Salah satu bagian yang menonjolkan keunikan pada Rumah Adat Tongkonan adalah terdapat pada patung kepala kerbau yang terpasang pada bagian atas rumah. Kepala kerbau ini juga dipasang dan memiliki tiga jenis yaitu kerbau hitam, kerbau putih, dan kerbau belang.

    Selain itu patung kepala kerbau, pada Rumah Adat Tongkonan juga terdapat beberapa patung tambahan. Biasanya pemilik Rumah Adat Tongkonan menggunakan patung naga atau patung kepala ayam. Arti dari pada patung tersebut adalah sebagai tanda bahwasannya pemilik Rumah Adat Tongkonan tersebut adalah orang yang dituakan.

    Ornamen Unik

    Rumah Adat Tongkonan memiliki berbagai macam ornamen yang unik. Warna yang mendominasi ornamen-ornamen adalah warna hitam dan merah. Pada bagian dinding dan atap pelananya, terdapat desain spiral, geometris, dan motif kepala kerbau serta ayam jantan yang diwarnai warna putih, merah, kuning dan hitam.

    Warna-warna ini mewakili berbagai festival Aluk To Dolo (Jalan Leluhur), yakni agama asli Toraja. Warna-warna tersebut juga memiliki makna berbeda dimana warna Hitam melambangkan kegelapan dan kematian, warna Kuning bermakna berkat dan kuasa Tuhan, warna Putih sebagai warna ulang yang memiliki arti kemurnian dan warna Merah atau warna daging yang melambangkan warna darah dan kehidupan manusia.

    Empat Warna Dasar

    Ciri khas lain dari Rumah Adat Tongkonan adalah empat warna dasar yang setiap warnanya memiliki makna-makna tersendiri. Warna-warna dasar ini diantaranya warna merah seperti darah yang melambangkan kehidupan manusia.

    Kemudian warna kuning yang berarti anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Warna dasar lainnya adalah adalah warna hitam yang berarti kematian dan warna putih yang melambangkan warna tulang yang berarti suci atau bersih

    Tanduk Kerbau Depan Rumah

    Pada bagian depan Rumah Adat Tongkonan, di bawah atap yang menjulang tinggi, orang Toraja memasang tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau sendiri melambangkan banyaknya pemakaman yang telah keluarga pemilik tongkonan lakukan. Tanduk kerbau ini juga melambangkan seberapa tinggi derajat keluarga itu. Kian banyak tanduk kerbau, maka status sosialnya pun semakin tinggi.

    Konstruksi Tanpa Paku

    Struktur Rumah Adat Tongkonan terbuat di atas tiang kayu. Atap Rumah Adat Tongkonan ini terbuat dari bambu berlapis, dan konstruksi kayu rumahnya sengaja dirakit tanpa menggunakan paku. Bahan-bahan ini juga bergabung dengan daun kelapa, rotan, dan berbagai jenis kayu seperti kayu ulin, dan kayu jati. Rumah Adat Tongkonan juga memakai konstruksi yang serupa di seluruh wilayah.

  • Rumah adat Aceh

    Rumah adat Aceh

    Rumoh Acèh  / rumah aceh (dalam bahasa Aceh) merupakan rumah adat khas suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bahan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.

    Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang disebut tamèh raja dan tamèh putroë”. Oleh karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

    Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik istrinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh, istilah yang dinamakan peurumoh, atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki rumah.

    Material

    Rumoh Aceh bermaterial kayu pilihan. Kayu tersebut digunakan sebagai tiang-tiang penyangga rumah yang berjumlah 16, 24 atau 32 tiang. 16 tiang untuk rumah bertipe 3 ruangan, 24 tiang untuk rumah bertipe 5 ruangan dan 32 tiang untuk rumah bertipe 7 ruangan. Sedangkan dinding rumah bermaterial papan keras yang dilengkapi ukiran khas Aceh. Begitu juga dengan alas rumah yang terbuat dari papan, papan-papan tersebut hanya disematkan begitu saja tanpa dipaku sehingga mudah dilepas dan memudahkan ketika memandikan jenazah karena air tumpah langsung ke tanah. Adapun atap bermaterial daun rumbia. Daun rumbia bersifat ringan dan memberikan efek sejuk pada rumah, selain itu struktur anyaman yang ditali dapat dipotong dengan mudah jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran. Dalam memperkuat bangunan rumah aceh tidak menggunakan paku, melainkan memakai pasak atau pengikat dari tali rotan

    Fungsi dan Filosofi

    Rumah Aceh tidak hanya berfungsi sebagai hunian. Tetapi juga mencerminkan keyakinan kepada Tuhan. Hal tersebut terlihat dari bangunan rumah yang berbentuk segi empat dan memanjang dari timur ke barat membentuk garis imajiner ke Ka’bah. Bagian sisi rumah yang menghadap barat dan timur pun berfungsi mengantisipasi badai. Hal ini karena angin badai di Aceh jika tidak bertiup dari barat, maka akan bertiup dari Timur.

    Fungsi lainnya rumah aceh adalah menunjukan status sosial pemiliknya. Semakin banyak hiasan maka semakin kaya pemiliknya. Sedangkan untuk pemilik yang sederhana hiasannya relatif sedikit bahkan tidak ada sama sekali.

    Rumah yang berbentuk panggung menyebabkan terdapat jarak antara permukaan tanah dengan lantai dasar. Biasanya jarak lantai dasar dari permukaan tanah terpisah 9 kaki atau lebih. Desain ini memiliki fungsi keselamatan dari gangguan binatang buas dan bencana banjir. Maksudnya, jika terjadi banjir maka penghuni rumah tidak ikut kebasahan atau pun terbawa arus banjir. Sedangkan bagian pintu dibangun setinggi 120–150 cm, hal tersebut membuat orang yang masuk harus sedikit menunduk ketika memasuki rumah. Filosofi menunduk ini adalah sebuah bentuk penghormatan kepada pemilik rumah tanpa melihat status sosial atau derajat sang tamu. Konsekuensi dari bentuk rumah yang panggung menyebabkan rumah aceh mempunyai tangga, anak-anak tangganya sengaja berjumlah ganjil. Menurut adat Aceh, angka ganjil bersifat unik dan sulit ditebak.

    Bagian-bagian rumah

    Bagian bawah

    Bagian bawah rumah aceh disebut meuyup rumoh. Bagian meuyup rumoh merupakan bagian kosong di antara lantai rumah dengan permukaan tanah. Ruang kosong ini dimanfaatkan berbagai keperluan, seperti arena bermain anak, tempat kandang hewan peliharaan, tempat membuat ija sungkét (kain songket) khas Aceh dan tempat berjualan. Selain itu ruang kosong ini bisa dijadikan tempat penyimpanan penumbuk padi yang bernama jeungki dan sebuah krong pade(tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan tinggi dan diameter mencapai dua meter)

    Bagian tengah

    Bagian tengah rumah aceh merupakan tempat utama penghuni, dimana didalamnya tempat melakukan segala aktivitas. Bagian ini terbagi menjadi tiga, yakni seuramoe reungeun(serambi depan), seuramoe teungoh(serambi tengah) dan seuramoe likot(serambi belakang)

    Pertama serambi depan, ruangan ini tidak bersekat dan pintunya berada di ujung lantai sebelah kanan. Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur anak laki-laki dan tempat mengaji. Sesekali ruangan ini difungsikan untuk menjamu tamu penting seperti makan bersama dan acara keduri.

    Kedua serambi tengah, ruangan ini merupakan bagian inti dari rumah biasa disebut juga sebagai rumoh inong(rumah induk). Ruangan ini terletak lebih tinggi karena dianggap suci dan bersifat pribadi. Di dalam ruangan ini terdapat dua kamar yang menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Kamar untuk kepala keluarga disebut rumoh inong, sedangkan untuk anak perempuan disebut rumoh anjung. Ketika anak perempuan menikah maka pengantin akan menempati rumoh inong sedangkan kepala keluarga di rumah anjong. Jika anak perempuan kedua menikah, rumoh inong difungsikan untuk pengantin dan kepala keluarga pindah ke rumoh likot sampai sang anak memiliki rumah sendiri. Selain itu rumoh inong difungsikan juga sebagai tempat memandikan mayat ketika ada peristiwa kematian keluarga.

    Ketiga, serambi belakang. Serambi ini tingginya sama dengan serambi depan. Ruang Nya tidak bersekat dan tidak ada kamar. Ruangan ini difungsikan sebagai ruang keluarga, tempat makan bersama keluarga atau bahkan dapur maupun tempat menenun-menyulam.

    Bagian atas

    Bagian atas rumah berbentuk loteng segitiga yang mengerucut kebagian atas sehingga tampak lancip. Bagian atas ini disebut bubong. Bubong yang menyatukan bubong bagian kiri dengan bagian kanan disebut perabung. Letak bagian atas terletak tepat di atas serambi tengah. Fungsinya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga keluarga.

    Konstruksi dan Elemen Rumah

    Konstruksi rumoh Aceh terbilang kokoh dan mempunya fungsi antisipasi bencana seperti gempa dan banjir. Terbukti, ketika peristiwa tsunami tahun 2004, rumoh aceh tidak bergeser sedikitpun dan tidak mengalami kerusakan berarti. Kekokohan rumoh aceh ini ditopang oleh konstruksi tiang-tiang penyangga. Ukuran tiap tiangnya berkisar 20–35 cm, dimana di setiap ujung bawah tiang dilengkapi batu landasan yang berguna mengantisipasi kayu masuk ke tanah ketika banjir/tanahnya lembab. Di bagian lantai terdapat balok penyangga. Balok-balok tersebut disusun rapat-rapat, sehingga kemungkinan roboh menjadi kecil.

    Selain konstruksi, rumoh Aceh pun mempunyai elemen-elemen yang berguna sebagai penyangga dan penguat di setiap elemennya pun terdapat filosofinya. Berikut pemaparannya:

    • Tamèh merupakan tiang yang digunakan sebagai penyangga badan rumah. Dalam peribahasa Aceh, ada ungkapan “Kreueh beu beutoi kreueh, beu lagee kreueh kayèe jeuet keu tamèh rumoh; Leumoh beu beutoi leumoh, beu lagèe taloe seunikat bubông rumoh” yang artinya, jika keras, haruslah sekeras kayu tiang penyangga rumah; jika lentur, mesti selentur tali pengikat atap rumah. Hal ini bermakna hidup orang Aceh adalah teguh pendirian, tetapi tetap berhati lembut.
    • Tamèh raja atau tiang raja, merupakan tiang utama yang berada di sisi kanan pintu masuk. Disebut tiang raja karena ukurannya lebih besar dan posisinya berada di sebelah kanan. Tamsil terhadap tiang raja: “Kong titi saweueb seukukuh titi, kareuna adat adé raja” yang artinya jembatan kukuh karena ada tempat berpegang, kukuh adat karena adil raja.
    • Tamèh putroe atau tiang putri, merupakan tiang utama yang berada sisi kiri pintu masuk. Disebut tiang putri karena merupakan pasangan tiang raja dan posisinya berdampingan dengan tiang raja.
    • Keunaleueng tameh atau gaki tameh atau kaki tiang, merupakan alas tiang yang biasanya berasal dari batu sungai. Alas tiang ini berfungsi menyangga tiang kayu agar tidak masuk ke dalam tanah.
    • Rôk atau balok pengunci biasa. Sifatnya untuk menguatkan hubungan antar ujung setiap balok.
    • Tôi atau balok pengunci yang arahnya tegak lurus dengan rôk.
    • Bajoe atau pasak yang berfungsi menguatkan hubungan antara rôk dan tôi dalam pahatan pada batang taméh.
    • Peulangan yaitu tempat bertumpu dinding dalam (interior).
    • Kindang yaitu elemen tempat bertumpunya dinding luar (eksterior).
    • Aleue yaitu lantai yang terbuat dari papan berbilah kecil.
    • Ranté aleue yaitu elemen pengikat lantai yang biasanya terbuat dari rotan atau tali.
    • Lhue yaitu balok rangka untuk penyangga lantai.
    • Neuduek lhue, tempat bertumpu lhue
    • Bintéh disebut juga dinding.
    • Bintéh catô yaitu dinding catur, salah satu bentuk jalinan dinding.
    • Boh pisang yaitu papan kecil di atas kindang.
    • Tingkap disebut juga jendela. Jendela rumah Aceh dibuat ukuran kecil. Jendela utama ada pada sisi rumah.
    • Pintô disebut juga pintu.
    • Rungkha disebut juga rangka atap.
    • Diri merupakan tiang tegak kuda-kuda atap.
    • Bara panyang merupakan balok pengunci memanjang pada ujung taméh atas.
    • Bara linteueng merupakan balok pengunci melintang pada ujung taméh atas.
    • Geumulang atau geunulông merupakan balok gording atap.
    • Tuleueng rueng atau balok wuwung adalah tempat bersandar kaso pada ujung atas. Balok ini terbuat dari kayu ringan agar tidak memberatkan beban atap
    • Gaseue gantong disebut juga kaki kuda-kuda.
    • Puténg tamèh yaitu bagian ujung tiang yang dipahat, gunanya untuk menyambung balok.
    • Taloe pawai yaitu tali pengikat atap yang diikatkan pada ujung bui teungeut.
    • Bui teungeut yaitu potongan kayu sebagai penahan neudhuek gaseue.
    • Tulak angèn atau tulak angin, merupakan rongga tempat berlalu angin pada dinding sisi rumah yang berbentuk segitiga pada dinding sisi rumah yang berbentuk segitiga.

    Dalam proses pengukuran, seluruh elemen rumah Aceh pengukurannya menggunakan alat ukur tradisional masyarakat Aceh, yaitu ukuran dengan anggota tubuh. Alat ukur tersebut antara lain jaroe (jari), hah (hasta), jengkal (jengkal , deupa (depa), dan lain-lain.

    Misalnya, untuk mengukur puting balok dilakukan beberapa jari, sijaroe, dua jaroe, dan seterusnya; untuk mengukur panjang balok bisa dengan hasta seperti sihah, dua hah, dan seterusnya; untuk mengukur sesuatu yang pendek bisa dengan jengkal atau depa. Mengukur panjang balok bisa dengan hasta seperti shiha, dua hah, dan seterusnya; untuk mengukur sesuatu yang pendek bisa dengan jengkal atau depa.

    Filosofi warna

    Rumoh Aceh tidak sembarang dalam menggunakan warna, dalam setiap warnanya terdapat filosofi tersendiri, yaitu:

    • Warna kuning : Warna kuning digunakan di sisi segitiga perabung. Bagi adat aceh kuning bermakna kuat, hangat sekaligus memberikan kesan cerah. Selain itu, warna kuning tidak memantulkan sinar matahari.
    • Merah : Warna merah dipilih untuk melengkapi garis ukiran rumoh aceh. Warna merah bermaknakan emosi yang berubah-ubah dan naik turun. Sifat tersebut mencerminkan gairah, senang dan semangat. Hal tersebut menunjukan emosi orang Aceh naik turun sekaligus dipenuhi gairah dan semangat mengerjakan sesuatu. Emosi sejenis ini selaras dengan hadih maja/paribahasa Aceh yang berbunyi: “ureueng Aceh h’an jeuet teupèh, meunyo teupèh bu leubèh h’an jipeutaba, meunyo hana teupèh bak marèh jeuet taraba“. Artinya orang Aceh tidak boleh tersinggung, jika tersinggung, nasi lebih pun tidak mau ia tawarkan, jika tidak tersinggung, nyawa ia berikan’.
    • Putih : Warna putih yang digunakan adalah putih netral yang bermaknakan suci dan bersih.
    • Jingga : Penggunaan orangnya dimaksudkan memberi makna kehangatan, kesehatan pikiran dan kegembiraan.
    • Hijau : Menggunakan warna hijau bermaknakan kesejukan, kesuburan dan kehangatan. Hal tersebut berkaitan dengan hijau itu tumbuhan dan warna padi sebelum matangTEMPAT BERMAIN SLOT YANG ASIK : MAHKOTA69